Polemik Terkait Lapangan di Desa Karang Reja Kec. Karang Gayam Kab. Kebumen Hingga Kini Belum Ada Titik Temu

Karang Reja Kebumen - bidikfakta.com, Mulai Tahun 2019 Tanah Bengkok dengan persetujuan Kepala Desa Karang Reja, difungsikan sebagai Lapangan sepak Bola. Menurut informasi dari masyarakat saat ini Lapangan tampak lebih buruk di banding sebelum di lakukan pengurukan. Hingga menimbulkan polemik hingga kini belum kunjung selesai. (27-07-2022)

Kades Karang Reja Bahrun, melihat kondisi lapangan ada potensi Pasir, hingga Lapangan di gali di ambil Pasirnya. Setelah di gali di ambil Pasirnya, kemudian di urug kembali dengan tanah urugan yang menurut Kades, Proyek Pengurugan Lapangan tinggi kali luas hingga menghasilkan Meter kubik, menelan anggaran lebih dari 700 Juta.

Ketika Bengkok di gali Pasinya, membuat tandatanya bagi masyarakat hasil dari penjualan Pasir tersebut dikemanakan dan untuk apa, setelah digali lalu di urug menurut keterangan Kades hingga menelan puluhan juta rupiah, pertanyaa nya, mengapa harus digali lalu di urug hingga mengeluarkan anggaran??? terkesan di komersikan.

Kades mengatakan," ini bengkok hak saya sebagai Kepala Desa mau saya apakan kan urusan saya, kecuali jika saya pidah tangankan atau di jual," Ucapnya lantang  dengan semangatnya.

Merujuk kepada UU terkait Bengkok atau aset Desa: Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa membawa dampak yang signifikan dalam tata pemerintahan desa. Undang-undang ini memberi begitu banyak kewenangan kepada desa, salah satunya kewenangan dalam mengelola aset desa dalam rangka menambah sumber pendapatan desa. Pasal 1 angka 11 UU No. 6 Tahun 2014 menyebutkan bahwa aset desa merupakan barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau perolehan hak lainnya yang sah. Lebih lanjut Pasal 76 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2014 menyatakan bahwa salah satu aset desa dapat berupa tanah kas desa.

Pengundangan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa sebagai payung hukum pengelolaan aset desa dalam rangka menjamin ketertiban pengelolaan tanah kas desa. Salah satu ketentuan yang menarik ialah Pasal 6 ayat (1) Permendagri No. 1 Tahun 2016, yang memerintahkan agar seluruh aset desa yang berupa tanah disertifikatkan atas nama pemerintah desa.


TANAH DESA DAN TANAH KAS DESA
Menyoal tanah kas Desa, dalam peraturan perundang-undangan tentang aset Desa terdapat istilah lain yang sekilas memiliki kesamaan dengan Tanah kas Desa, yakni tanah Desa. Tanah kas Desa secara langsung disebutkan dalam Pasal 76 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2014 sebagai salah satu aset Desa, namun dalam UU No. 6 Tahun 2014 tidak mendefinisikannya dengan jelas. Sedangkan istilah Tanah Desa tidak terdapat dalam UU No. 6 Tahun 2014, dan hanya dapat ditemukan dalam Permendagri No. 1 Tahun 2016, yang mana didalamnya juga terdapat istilah Tanah kas Desa. Eksistensi Permendagri No. 1 Tahun 2016 yang memuat istilah Tanah Desa dan Tanah kas Desa semakin mengaburkan konsep Tanah kas Desa dengan konsep Tanah Desa.

Instruksi Mendagri No. 26 Tahun 1992, nomenklatur Tanah Bengkok telah diubah menjadi Tanah kas Desa. Berdasarkan ketentuan tersebut, walaupun istilah Tanah kas Desa tidak dijelaskan secara eksplisit dalam UU No. 6 Tahun 2014, Tanah kas Desa memiliki definisi yang sama dengan Tanah Bengkok. Tanah bengkok merupakan istilah yang lazim dalam tata kelola pemerintahan Desa di Jawa untuk mendefinisikan Tanah yang pengelolaannya diberikan kepada Kepala Desa dan perangkat Desa sebagai gaji selama mereka menjabat. Selain itu, tanah Bengkok biasanya ditatagunakan untuk kepentingan umum, menambah pendapatan asli Desa, dan menjalankan fungsi sosial.

Berkebalikan dengan Tanah kas Desa, tanah Desa memiliki definisi baku yang diatur dalam Pasal 1 angka 26 Permendagri No. 1 Tahun 2016. Ketentuan tersebut menerangkan bahwa Tanah Desa merupakan Tanah yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh Pemerintah Desa sebagai salah satu sumber pendapatan asli Desa dan/atau untuk kepentingan sosial. Definisi ini terlihat mirip dengan sifat dan kegunaan tanah kas Desa. Sebagai pembanding, Pasal 1 angka 10 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolan Kekayaan Desa (selanjutnya disebut Permendagri No. 4 Tahun 2007) mendefinisikan Tanah Desa sebagai barang milik Desa yang berupa tanah bengkok, kuburan, dan titisara. Walaupun ketentuan tersebut tidak memberikan tawaran konsep mengenai tanah Desa, akan tetapi ketentuan tersebut secara langsung menyebutkan jenis-jenis Tanah yang tergolong dalam lingkup Tanah Desa. Berdasarkan konsep Tanah Desa yang terdapat dalam Permendagri No. 4 Tahun 2007, maka dapat disimpulkan bahwa Tanah kas Desa –atau yang dulunya disebut Tanah Bengkok– merupakan salah satu jenis Tanah Desa.

Jenis Hak Atas Tanah yang Melekat pada Tanah Kas Desa berdasarkan kebiasaan di Desa, Tanah kas Desa biasanya ditatagunakan untuk kepentingan umum, menambah pendapatan asli Desa, dan menjalankan fungsi sosial. Tanah yang berupa Tanah Sawah biasanya diberikan kepada Kepala Desa dan para Perangkat Desa menurut jabatannya untuk dikelola sebagai upah menjalankan pemerintahan Desa. Tanah kas Desa juga digunakan untuk pembangunan Desa. Tidak jarang pula Tanah kas Desa disewakan kepada warga Desa untuk membantu perekonomian warga Desa sekaligus menambah pendapatan asli Desa.

Uraian di atas menunjukkan bahwa Tanah kas Desa yang ditatagunakan untuk menjalankan seluruh roda pemerintahan di Desa memenuhi unsur "menggunakan" dan "memungut hasil" sesuai dengan definisi hak pakai yang telah diuraikan di atas. Pasal 10 dan 11 Permendagri No. 1 Tahun 2016 mempertegas fungsi Tanah kas Desa yang hanya dapat digunakan dan dimanfaatkan dengan tidak menghilangkan status kepemilikan tanah kas Desa. Kemudian Pasal 25 dan 32 Permendagri No. 1 Tahun 2016 melarang pemindahtanganan Tanah kas Desa selain melalui penyertaan modal badan usaha milik Desa (BUMDes) dan tukar menukar untuk kepentingan umum dan kepentingan Nasional. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aset Desa yang berupa Tanah hanya dapat dimanfaatkan dan digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan Desa, kepentingan umum, dan kepentingan Nasional. Dengan demikian hak pakai merupakan hak atas tanah yang sesuai untuk Tanah kas Desa.

Pasal 6 ayat (1) Permendagri No. 1 Tahun 2016 kemudian mengisyaratkan untuk mendaftarkan Tanah kas Desa atas nama Pemerintah Desa. Definisi pemerintah Desa menurut Pasal 1 ayat (3) UU No. 6 Tahun 2014 adalah penyelenggara pemerintahan Desa yang terdiri dari Kepala Desa dan perangkat Desa. Dari batasan tersebut, tidak mungkin apabila tanah kas Desa didaftarkan atas nama Kepala Desa dan/atau perangkat Desa yang merupakan representasi dari Pemerintah Desa. Karena apabila Tanah kas Desa didaftarkan atas nama jabatan Kepala Desa dan perangkat Desa, atau malah didaftarkan atas nama pejabat kepala Desa dan perangkat Desa, maka akan menyebabkan administrasi menjadi tidak efektif. Mengingat jabatan kepala Desa dan perangkat desa sifatnya tidak tetap, sebab setiap 6 tahun sekali terdapat agenda pemilihan kepala Desa. Berbeda halnya ketika frasa "Pemerintah Desa" dimaknai sebagai institusi, bukan sebagai jabatan atau pejabatnya. Hemat kami, pemaknaan "pemerintah Desa" sebagai institusi lebih logis daripada pemaknaan jabatan atau pejabatnya.

Nah polemik yang hingga kini belum ada titik terang seharusnya Kepala Desa dapat menegaskan kepada masyarakat siap untuk di audit Inspektorat dan jika ada kekeliruan dampak nya akan bermuara ke Tipikor. Kades sesgera ambil langkah lebih bijak dan transparan kepada masyarakat agar polemik ini cepat selesai, karena masih banyak hal yang juga harus di kerjakan untuk kemajuan Desa.


Masyarakat berharap Kades dapat menjelaskan sedetail mungkin dalam persoalan ini agar masyarakat pun merasa puas setelah Kades mau duduk bersama-sama untuk klarifikasi dan transfaran secara terbuka.

(Tim/red)

Posting Komentar

0 Komentar