Kabupaten Tangerang – bidikfakta.com, Proyek betonisasi di Perum Graha Hijau, Blok A3 dan A3B, Desa Saga, Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang, menjadi cerminan buruknya tata kelola pembangunan infrastruktur di daerah. Bukan hanya menghadirkan segudang persoalan teknis, proyek ini juga menyulut kecurigaan akan praktik penyimpangan anggaran. Minggu, 08/12/2024.
Ketiadaan papan informasi proyek menjadi indikator awal yang mencolok. Sebuah pelanggaran prosedur yang tidak bisa dianggap enteng, mengingat papan ini adalah elemen wajib sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik. Ketika proyek dikerjakan tanpa transparansi, publik layak bertanya: apa yang coba disembunyikan? Apakah hanya soal kelalaian administratif, atau bagian dari skema besar untuk mengaburkan penggunaan anggaran?
Di lokasi pengerjaan, lemahnya pengawasan dari Dinas Perumahan dan Permukiman (Perkim) terlihat jelas. Sejumlah pekerja mengungkapkan bahwa pengawas jarang hadir di lokasi, bahkan lebih sering datang "sekadar melihat-lihat." Kondisi ini memberi ruang leluasa bagi pelaksana proyek untuk mengurangi kualitas pekerjaan tanpa khawatir dipertanyakan. Salah satu pekerja mengatakan, "Pengawas cuma datang malam, itu pun cuma sebentar."
Jika pengawasan seperti ini dianggap cukup, maka proyek ini bukan hanya rawan korupsi, tetapi juga berpotensi menghadirkan infrastruktur yang membahayakan masyarakat.
Di lapangan, teknik pengerjaan basecourse (pondasi beton) tampak asal-asalan. Permukaan tanah dasar tidak diratakan, bahkan ada bagian yang sama sekali tidak dihamparkan batu pondasi. Istilah warga, "separo nyolong," benar-benar mencerminkan buruknya kualitas pekerjaan ini.
Masalah semakin kentara pada ketebalan beton. Begisting terlihat tidak sejajar, beberapa bahkan tenggelam ke dalam tanah. Dengan kondisi begini, ketebalan beton hampir pasti tidak sesuai dengan spesifikasi teknis. Hal ini mengarah pada dugaan serius adanya pengurangan material untuk memangkas biaya, sebuah praktik yang, jika terbukti, merupakan bentuk penyelewengan anggaran.
Seorang warga yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan kekhawatiran, "Kalau begini terus, proyek ini cuma buang-buang uang. Kita yang rugi karena jalan cepat rusak." Sayangnya, keluhan masyarakat hanya bertemu tembok bisu dari pihak terkait. Dinas Perkim, yang seharusnya bertanggung jawab penuh, belum menunjukkan tindakan berarti untuk memperbaiki keadaan.
Proyek yang dikelola tanpa integritas tidak hanya merugikan masyarakat secara finansial, tetapi juga secara sosial. Kepercayaan publik terhadap pemerintah semakin terkikis. Jalan yang dibangun dengan kualitas buruk akan cepat rusak, memaksa perbaikan dini yang akhirnya menjadi beban tambahan bagi anggaran negara.
Masyarakat kini menuntut langkah konkret. Transparansi harus ditegakkan, pengawasan diperketat, dan kualitas pengerjaan dijamin. Jika tidak, proyek seperti ini hanya akan menjadi "proyek abadi" yang terus menguras dana tanpa manfaat yang jelas.
Namun, di balik semua masalah ini, satu pertanyaan tetap menggantung: siapa yang sebenarnya diuntungkan? Jika masyarakat dan negara dirugikan, maka dugaan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang mengeruk keuntungan di balik praktik kotor ini menjadi semakin sulit ditepis.
(Yakup)
0 Komentar