Jakarta - bidikfakta.com, Ruang sidang adalah tempat di mana keadilan seharusnya ditegakkan dengan kepala dingin, bukti kuat, dan argumen yang jelas. Namun, dalam persidangan antara Razman Arif Nasution dan Hotman Paris, suasana itu berubah menjadi sesuatu yang jauh dari sakral. Kericuhan yang terjadi tidak hanya merusak wibawa hukum, tetapi juga memberi pelajaran buruk kepada masyarakat bahwa hukum bisa ditundukkan oleh emosi dan media.
Apa yang kita lihat bukan lagi proses hukum yang tertib, melainkan drama penuh ego dan sensasi. Ini bukan sekadar masalah individu, tetapi masalah sistemik yang mencerminkan adanya kelemahan besar dalam menjaga martabat pengadilan dan proses peradilan di Indonesia.
Ketika Hakim Kehilangan Kendali atas Ruang Sidang
Salah satu inti masalah dari kericuhan ini adalah lemahnya otoritas hakim. Hakim memiliki peran sentral dalam menjaga agar jalannya persidangan tetap tertib, tetapi dalam kasus ini, mereka tampak pasif menghadapi keributan. Ketika seorang pengacara menunjuk-nunjuk lawannya dan kuasa hukum lainnya naik ke atas meja, apa yang dilakukan hakim? Mereka seharusnya menghentikan sidang dan memberikan sanksi kepada siapa pun yang mengganggu ketertiban.
Jika tindakan seperti ini dibiarkan tanpa konsekuensi, maka ruang sidang akan kehilangan martabatnya. Publik akan melihat pengadilan tidak lagi dihormati, tetapi bisa dengan mudah dikacaukan oleh mereka yang memiliki nama besar dan ego tinggi. Keputusan hakim, seberapa pun sahnya, akan dipertanyakan jika suasana sidang lebih menyerupai arena konflik daripada tempat penegakan hukum.
Advokat: Pelayan Hukum atau Pemain Drama?
Razman dan Hotman adalah dua pengacara besar, tetapi apa yang mereka tampilkan dalam persidangan ini lebih cocok disebut sebagai pertunjukan daripada pembelaan hukum. Alih-alih memperdebatkan bukti dan hukum, mereka larut dalam adu gengsi dan emosi. Ini adalah cerminan buruk dari bagaimana advokat bisa lupa akan esensi profesinya sebagai pelayan hukum.
Kode Etik Advokat Indonesia mengatur bahwa advokat harus berperilaku sopan, menjaga kehormatan profesi, dan menghormati proses hukum. Namun, dalam kasus ini, advokat justru menjadi sumber kekacauan. Apakah ini yang ingin ditunjukkan kepada publik? Bahwa untuk menang dalam pengadilan, seseorang harus pandai membuat keributan? Jika ya, maka masa depan peradilan kita berada dalam bahaya besar.
PERADI atau organisasi profesi lain seharusnya tidak diam. Jika perilaku seperti ini dibiarkan, akan ada preseden buruk di mana advokat bebas melanggar etika dan mengandalkan taktik drama untuk menarik perhatian media.
Media: Mencari Informasi atau Sensasi?
Peran media dalam memperbesar kericuhan ini juga patut dikritik. Alih-alih menyajikan informasi substantif tentang pokok perkara, media lebih tertarik menyoroti keributan. Judul-judul berita yang viral tidak membahas argumen hukum atau bukti yang diajukan, tetapi seputar "Razman ngamuk" dan "Hotman tetap tenang." Akibatnya, publik tidak mendapatkan edukasi tentang jalannya proses hukum, tetapi malah terjebak dalam drama konflik personal.
Ketika media lebih berfokus pada sensasi, mereka melupakan tanggung jawab mereka untuk menyampaikan informasi yang benar dan mendidik. Media yang seharusnya menjadi pengawas publik justru menjadi aktor tambahan dalam pertunjukan ini. Mereka membentuk opini publik yang bias, di mana kemenangan tidak ditentukan oleh hukum, tetapi oleh siapa yang terlihat lebih hebat di berita.
Jika hal ini terus terjadi, persidangan di masa depan bukan lagi ajang mencari keadilan, tetapi tempat di mana advokat berlomba-lomba menciptakan headline.
Pengadilan Media: Bahaya yang Mengancam Keadilan
Salah satu masalah terbesar dalam persidangan ini adalah bagaimana opini publik terbentuk bukan berdasarkan fakta hukum, tetapi berdasarkan persepsi yang dibangun oleh media. Ketika persidangan menjadi tontonan publik yang viral, tekanan kepada hakim untuk memberikan keputusan yang sesuai dengan ekspektasi publik bisa menjadi sangat besar. Ini adalah bentuk intervensi terselubung yang mengancam independensi pengadilan.
Keadilan tidak bisa diserahkan kepada opini publik. Jika pengadilan lebih dipengaruhi oleh sorotan media daripada bukti dan hukum, maka putusan yang dihasilkan tidak akan dipercaya. Masyarakat akan lebih mempercayai narasi media daripada keputusan hakim, dan ini akan merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum.
Solusi: Mengembalikan Martabat Ruang Sidang
Kericuhan ini harus menjadi pelajaran bahwa ada banyak hal yang perlu diperbaiki dalam sistem peradilan kita:
1. Hakim harus lebih berani dan tegas. Hakim perlu segera menghentikan kericuhan di ruang sidang dan memberikan sanksi kepada siapa pun yang melanggar tata tertib.
2. Media harus lebih bertanggung jawab. Media perlu berperan sebagai penyampai informasi yang akurat, bukan sebagai penyebar sensasi. Liputan persidangan harus fokus pada substansi hukum, bukan aksi emosional.
3. Advokat harus diingatkan kembali pada kode etik profesinya. PERADI dan organisasi profesi lain harus memberikan sanksi tegas kepada advokat yang merusak wibawa hukum melalui perilaku tidak pantas.
Penutup: Hukum Bukan untuk Ditonton, tapi Ditegakkan
Persidangan Razman dan Hotman adalah bukti bahwa hukum kita masih rentan terhadap permainan ego dan media. Jika kita membiarkan ini terus terjadi, hukum akan kehilangan maknanya. Keadilan tidak akan lagi diukur dari kebenaran, tetapi dari siapa yang lebih pandai menciptakan drama. Oleh karena itu, kita harus memastikan bahwa ruang sidang tetap menjadi tempat yang dihormati, di mana argumen hukum diutamakan dan keadilan ditegakkan tanpa kompromi.
Indra gunawan Rawe
0 Komentar