Kami menulis surat ini bukan karena kami benci, bukan pula karena kami tak paham akan cita-cita besar bangsa. Justru karena kami mencintai negeri ini, tanah ini, dan segala yang tumbuh di atasnya. Cinta kami pada tanah ini telah menghidupi keluarga kami turun-temurun. Namun, di tengah semangat perubahan yang diumumkan ke seantero negeri, kami merasakan sesuatu yang patah... sesuatu yang menjauh.
Birokrasi seakan berhenti begitu memasuki wilayah deliniasi. Seolah kehidupan di sini tidak masuk dalam peta rencana pembangunan. Bukan hanya soal hak tinggal, bukan cuma soal plang-plang proyek yang berdiri tegak — tetapi status tanah kami yang tak kunjung jelas, membuat hati ini resah. Kami yang dulu menggarap, menanam, dan berharap dari tanah ini, kini dihadapkan pada batas-batas kebijakan yang kaku dan asing.
Kami ingin ikut membangun. Kami ingin menyambut Ibu Kota Nusantara dengan cara kami: membuka warung, menjual hasil bumi, berinovasi dalam cara-cara sederhana demi satu suapan nasi setiap hari. Tapi mengapa rasanya kami malah dihalangi? Mengapa seolah hanya yang datang dari luar yang dipersilakan berjaya di sini?
Kata-kata "transformasi ekonomi hijau" sering terdengar di podium, namun di kampung-kampung kami, itu hanya seperti angin lalu. Semua sebatas seremoni, tanpa substansi. Ketika tambang-tambang melintas membawa debu dan suara bising, mereka berdalih: "Kami menyumbang untuk negara." Tapi bagaimana dengan kami, yang hanya ingin hidup layak di tanah sendiri?
Kenapa harus viral dulu, baru suara kami didengar?
Kenapa kami, masyarakat deliniasi, hanya diminta bersatu dan patuh — tapi tidak pernah diajak bicara dalam menentukan arah?
Apakah kami tak boleh merayakan hadirnya IKN dengan cara kami?
Sejak awal, sebelum ada tanda tangan presiden, kamilah yang berdiri mendukung gagasan besar ini. Kami ingin IKN sukses, karena tanah ini pun adalah rumah kami. Tapi belakangan ini, yang kami rasakan bukan pelukan pembangunan, melainkan desakan demi desakan — diam-diam tapi menyakitkan.
Kami muak diperlakukan terlalu sopan secara bahasa, tapi ditindih secara perlahan dengan kebijakan tanpa pemberitahuan. Jangan korbankan kami yang sudah lama tinggal, hanya demi investor-investor yang baru mengenal wangi tanah ini kemarin sore.
Kami mohon, jangan anggap kami musuh. Kami adalah rakyat. Kami adalah bagian dari masa depan IKN.
Beranilah bicara jujur. Tegaskan arah. Terangilah kebijakan. Dan, tolong: libatkan kami.
Dengan segala cinta dan sisa-sisa harapan,
Kami, masyarakat wilayah deliniasi IKN, yang masih bertahan di antara mimpi dan kenyataan.
(Red***)
0 Komentar