6 Bulan Berlalu, Kasus Laka Maut Masjid Al Akbar Surabaya Tak Kunjung Ada Kejelasan




Surabaya - bidikfakta.com, Sudah lebih dari enam bulan berlalu sejak kecelakaan maut di sisi barat Masjid Al Akbar Surabaya yang menewaskan Aprian Dwi Horanto pada 24 Februari 2025. Namun hingga kini, proses hukum terhadap pelaku masih jalan di tempat.




Korban yang saat itu tengah duduk santai di atas motornya, tewas seketika setelah dihantam Honda CBR 250 tanpa nopol yang dikendarai Muhammad Fairuz Kristanto (18), warga Gadukan Utara. Dari keterangan saksi mata, motor pelaku melaju kencang dari arah selatan sebelum menghantam tubuh korban.




Benturan keras membuat korban mengalami luka serius di wajah dan kepala hingga meninggal dunia di lokasi. Jenazah kemudian dievakuasi petugas dengan kantung jenazah Dinsos Surabaya, sementara pelaku yang juga mengalami luka dibawa ke RS Bhayangkara Surabaya.

Sejak kejadian, keluarga pelaku beberapa kali datang meminta maaf. Bahkan pada 3 Maret 2025, kedua orang tua pelaku berjanji akan menanggung biaya pendidikan anak korban hingga kuliah. Namun janji itu tak pernah terealisasi, membuat keluarga korban menilai tidak ada itikad baik dari pihak pelaku.

Polrestabes Surabaya melalui Unit Laka sempat memfasilitasi mediasi pada 14 Juni 2025. Pertemuan yang menghadirkan pelaku, orang tua pelaku, serta keluarga korban itu berakhir tanpa kesepakatan. Proses diversi pun dilakukan, tetapi tetap menemui jalan buntu.

Mirisnya, meski perkara sudah terang benderang, hingga kini berkas perkara belum juga dilimpahkan. Keluarga korban menilai Unit Laka Polrestabes Surabaya lamban menindaklanjuti kasus yang jelas-jelas termasuk tindak pidana.

"Indonesia negara hukum. Kalau kasus yang menyebabkan nyawa melayang tidak diproses, ada apa dengan Unit Laka Polrestabes Surabaya?" ujar istri korban dengan nada kecewa.


Sejumlah ahli hukum menilai, kasus ini seharusnya sudah cukup bukti untuk diproses pidana. Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), pelaku dapat dijerat dengan:

Pasal 310 ayat (4): Setiap orang yang karena kelalaiannya mengemudikan kendaraan bermotor dan mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp12 juta.

Jika terbukti mengemudi dengan ugal-ugalan atau menggunakan kendaraan tanpa kelengkapan (tanpa nopol, knalpot brong), maka dapat diperberat dengan Pasal 311 ayat (5) UU LLAJ: dipidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak Rp24 juta.

Dengan pasal-pasal tersebut, seharusnya aparat penegak hukum tidak punya alasan menunda proses hukum. Lambannya penanganan justru membuka ruang spekulasi adanya keberpihakan dalam kasus ini.

Kini, keluarga korban tegas menolak jalur damai. Mereka meminta agar perkara segera dilimpahkan ke kejaksaan untuk kemudian disidangkan di pengadilan.

"Kami hanya ingin keadilan. Jangan sampai hukum tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas," tambah adik korban.

Kasus ini menjadi ujian bagi aparat penegak hukum, khususnya Unit Laka Polrestabes Surabaya, apakah benar-benar berpihak pada tegaknya hukum atau justru membiarkan kasus menguap tanpa kepastian.
(Redho)

Posting Komentar

0 Komentar