Gunungsitoli — Bidikfakta com, Di tengah hangatnya perbincangan publik mengenai nasib dokter spesialis, RSUD dr. M. Thomsen Nias akhirnya angkat bicara.
Bukan untuk membantah, melainkan untuk meluruskan duduk perkara yang sesungguhnya.
Polemik terkait pembayaran hak sejumlah dokter yang sempat menjadi sorotan, terutama para dokter bedah, kini terungkap bukan karena niat menahan, melainkan karena ada aturan yang wajib dipatuhi.
Kisah di balik ruang bedah ini menunjukkan bahwa pengabdian juga harus berjalan beriringan dengan kedisiplinan.
Direktur RSUD dr. M. Thomsen Nias, dr. Noferlina Zebua, bersama dengan Kepala Bidang Keuangan dan Perencanaan, Ersan Kenedy Harefa, serta Kepala Bagian Tata Usaha, Rini Kurniawati Nduru, secara kompak menjelaskan bahwa seluruh pembayaran hak pegawai dilakukan sesuai regulasi yang berlaku. Senin (18/08).
Mereka menegaskan, tidak ada satu pun hak yang ditahan jika seluruh kewajiban telah dipenuhi.
Menurut Ersan Kenedy Harefa, dasar pembayaran insentif dan Tunjangan Penghasilan Pegawai (TPP) dokter maupun para ASN adalah Sesuai Peraturan Bupati, dasar pembayaran insentif dokter ditentukan dari kehadiran yang terekam melalui sistem faceprint," jelasnya.
"Sistem absensi digital itu memastikan bahwa setiap pembayaran memiliki landasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
"Sejak 2023, sistem faceprint ini sudah kami wajibkan untuk semua dokter spesialis. Ini adalah tindak lanjut dari rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) agar semua pembayaran, khususnya TPP, dapat dipertanggungjawabkan," ungkap Ersan.
Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa kewajiban ini sudah diperkuat dengan Surat Edaran Direktur RSUD sejak September 2023.
Namun, faktanya, masih ada sebagian kecil dokter yang tidak memenuhi kewajiban tersebut meskipun sudah berulang kali diingatkan.
Tambahnya, pihak managemen rumah sakit tidak akan membayarkan insentif dokter jika tidak dibuktikan dengan kehadiran melalui absensi digital.
Ketentuan itu sudah berlaku bagi semua ASN pada setiap satuan kerja (Satker) baik d Pusat maupun di Daerah.
"Hal ini merupakan wajib hukumnya demi menghindari adanya temuan kelebihan pembayaran ataupun kerugian negara dari auditor BPK" urai Ersan.
Selanjutnya terkait dengan beredar informasi di masyarakat terkait dengan Jasa Pelayanan (Jaspel). Ersan Harefa, menjelaskan bahwa Jaspel tidak dihitung berdasarkan absensi.
"Jadi, Jaspel itu dihitung dari jumlah pasien yang dilayani dan jenis tindakan medis yang dilakukan oleh dokter. Meskipun ada dokter yang tidak mendapat insentif karena tidak melakukan faceprint, mereka tetap menerima pembayaran Jaspel sesuai kinerja medis yang tercatat," tegasnya.
Sementera itu, pembayaran jasa pelayanan ini sangat dipengaruhi oleh pembayaran klaim dari BPJS. Ada proses panjang yang harus dikerjakan sejak dari pengajuan klaim rumah sakit ke BPJS, proses verifikasi dan sampai dibayarkan ke rekening rumah sakit.
Setelah itu masih ada lagi proses internal keuangan untuk menghitung sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan sampai akhirnya dibagikan kepada pegawai.
Kecepatan pengajuan klaim sangat dipengaruhi oleh kepatuhan dokter dalam menyelesaikan pengisian rekam medis (yang merupakan dokumen wajib pendukung pengajuan klaim ke BPJS).
Kendati demikian, saat ini kita terus melakukan upaya-upaya percepatan tersebut, bahkan sejak kita mengimplementasikan e-rekam medis, sudah mulai ada percepatan. Urai Kabid Keuangan dan Perencanaan RSUD Thomsen Nias.
"Walaupun masih ada satu dua oknum dokter yang masih menunda-nunda untuk menyelesaikan tapi managemen tetap melakukan monitoring dan evaluasi terkait hal tersebut" urai Ersan lagi.
Tambahnya, pada tahun 2025, jasa pelayanan yang menjadi hak pegawai tetap kita bayarkan setiap bulan, namun fokus pada pembayaran jasa pelayanan yang merupakan pending klaim 2024. Untuk pelayanan yang diberikan pada tahun 2025, jasa pelayanannya juga sedang diteliti dan dihitung sesuai ketentuan, karena dananya juga baru kita terima pada pertengahan tahun anggaran 2025. Tutup Ersan Kennedy Harefa.
Nama dua dokter, yaitu dr. Jefry Adikam Sitepu dan dr. Hajriadi Syah Aceh, disebut termasuk yang belum mendapatkan insentif, hal ini terjadi akibat atas ketidakpatutan terhadap aturan yang berlaku di RSUD Thomsen.
Di tengah polemik ini, pihak manajemen juga menanggapi perihal dr. Victor Krisman Fa'atulo Telaumbanua SpB, yang disebut tidak melaksanakan tugas. Manajemen menyayangkan hal ini seharusnya Sebagai Aparatur Sipil Negara, kewajiban utama tetaplah memberikan pelayanan sebagaimana seorang dokter yang penuh tanggungjawab.
Menutup klarifikasi ini, dr. Noferlina Zebua memberikan penegasan. "Kami memahami keresahan publik, tapi penting untuk diluruskan bahwa persoalan ini bukan rumah sakit menahan hak, melainkan soal kepatuhan pada regulasi. Kami tidak bisa menyalahi aturan dengan tetap membayar tanpa bukti absensi," pungkasnya.
Ia juga memastikan bahwa di tengah tantangan ini, pelayanan pasien di RSUD dr. M. Thomsen Nias tetap berjalan.
Lewat klarifikasi ini, pihak rumah sakit berharap masyarakat dapat memahami bahwa di balik setiap pengabdian mulia, ada sistem dan aturan yang harus ditegakkan demi terciptanya pelayanan yang lebih baik dan akuntabel.
(Aro Zebua)
0 Komentar